Mengaku salah melihat gambar, kader PKS udah minta maaf. Namun, kader
Partai Demokrat (bendahara PD) nggak pernah minta maaf tuh, meski
dituding terlibat 3 kasus yang berkali lipat lebih gawat: 1)
Suap/korupsi pembangunan gedung olahraga SEA Games; 2) pemerkosaan
seorang gadis SPG di Bandung; 3) penganiayaan terhadap sopirnya sendiri.
Kalimat ini jelas membandingkan antara mantan anggota DPR dari PKS,
Arifinto dan mantan Bendahara Umum PD, M. Nazaruddin. Arifinto –yang
diduga melihat content pornografi di sidang paripurna DPR—hanya dalam
hitungan hari segera memutuskan mundur dan meminta maaf. Sedangkan M.
Nazaruddin, hingga kini tak juga meminta maaf dan mundur dari DPR meski
kasusnya telah ramai dibincangkan dalam dua pekan terakhir. Dan PD pun,
melalui Dewan Kehormatannya, hanya “berani” memecat Nazaruddin sebagai
bendahara umum; bukan sebagai anggota DPR.
Mengapa dua partai ini memiliki respon berbeda?
Di negeri ini, pejabat mundur karena berbuat salah bak mencari jarum di
tumpukan jerami. Bahkan, ada yang berpendapat, mundur masih belum
menjadi budaya di Indonesia. Budaya mundur dianggap bukan representasi
budaya bangsa Indonesia. Anehnya lagi, ada yang membenturkan budaya
mundur dengan falsafah Jawa: tinggal glanggang colong playu (lari dari
tanggung jawab).
Beragam alasan biasanya dikemukakan mereka yang terlibat kasus-kasus tak sedap.
“Itu kan baru dugaan, belum ada bukti hukum, jadi tak perlu mundur.”
“Status saya masih tersangka, buat apa mundur.”
“Saya baru akan mundur jika ada keputusan pengadilan yang tetap.”
“Saya kan cuma pembantu presiden. Mundur tidaknya saya tergantung presiden.”
“Mundur sebagai anggota dewan itu ada aturannya, tak bisa tergesa-gesa.
Masih banyak yang harus saya kerjakan sebagai wakil rakyat.”
Saat ini, selain Nazaruddin, masih banyak anggota DPR yang sudah
ditetapkan sebagai tersangka, bahkan terdakwa, tapi keukeuh tak mau
mundur. Setiap pekan kerjanya bolak-balik pengadilan, bertemu kuasa
hukum, dan menyiapkan pembelaan. Tapi tetap saja mereka tanpa malu masih
berkantor di DPR sebagai wakil rakyat.
Jepang kerap menjadi contoh terbaik yang disodorkan kepada kita terkait
budaya mundur. Menteri Luar Negeri (Menlu) Jepang, Seiji Maehara,
mengundurkan diri dari jabatannya karena dituduh menerima uang dari
orang asing, walau nilainya hanya 50.000 yen, atau sekitar Rp5,3 juta.
“Saya minta maaf kepada rakyat Jepang atas keresahan politik ini,” kata Maehara dalam jumpa pers di Tokyo, Minggu 6 Maret 2011.
April 2010, PM Jepang Yukio Hatoyama yang baru menjabat Perdana Menteri
Jepang selama delapan bulan, mengundurkan diri setelah gagal memenuhi
janji kampanyenya untuk memindahkan pangkalan militer Amerika Serikat,
Futenma, dari Pulau Okinawa. Sebelum Hatoyama, ada Taro Aso, Yasuo
Fukuda dan Shinzo Abe yang meletakkan jabatan PM karena merasa gagal
menjalankan amanah rakyat.
Mengapa para pejabat kita tak mau mundur? Pertama, karena hilangnya
budaya malu. Kita sering melihat para tersangka koruptor masih bisa
tersenyum manis di depan kamera. Menyedihkan, bukan?
Kedua, cara pandang terhadap kekuasaan. Bagi mereka yang tak mau mundur,
kekuasaan adalah peluang untuk mendapatkan beragam kenikmatan dunia:
harta, tahta, wanita, dsb. Dengan berkuasa, semua urusan menjadi mudah;
semua lawan bisa dilibas; semua kemewahan bisa didapatkan; semua wanita
dapat ditaklukkan. Karena itu, kekuasaan tak boleh dilepaskan meski
beragam kesalahan telah dilakukan. Dan mundur tentu saja tak ada dalam
kamus mereka.
Berbeda dengan orang yang memandang kekuasaan hanya sebagai alat atau
sarana untuk berbuat kemaslahatan bagi masyarakat. Bagi kelompok ini,
kekuasaan bukan diletakkan di dalam jiwa, melainkan hanya ada di telapak
tangan. Karenanya, jika sudah merasa tak membawa kemaslahatan, mereka
akan mundur dengan sukarela.
Budaya mundur sendiri sejatinya inheren (melekat) dengan eksistensi kita
sebagai seorang muslim. Islam, agama yang kita anut, dengan indahnya
mengajarkan budaya mundur dalam shalat. Seorang imam harus mundur jika
batal dan posisinya digantikan oleh orang yang ada di belakangnya.
Sayang memang, budaya mundur masih menjadi barang mewah di negeri yang
mayoritas muslim ini. Padahal, sebuah pelajaran moral luar biasa telah
ditunjukkan oleh kader PKS, Arifinto. Tapi tak ada anggota dewan dan
pemimpin lainnya yang mau belajar dari PKS. Termasuk PD yang saat ini
menjadi the rulling party.
Jadi teringat dengan tulisan Zaim Uchrowi: Berani Mundur di Republika,
15 April lalu. Tulis dia dalam artikelnya: Arifinto membuat langkah
penting bagi bangsa ini, membiasakan budaya mundur. Hal yang tentu tak
lepas dari sikap partainya, PKS. Partai yang dalam beberapa waktu
terakhir banyak dihujani cobaan, termasuk pada kasus ini. Namun, lewat
mundurnya Arifinto, PKS menunjukkan beda dengan partai lainnya. PKS
melakukan hal yang hampir tak mungkin dilakukan partai lain. Dengan
segala kekurangannya, partai ini relatif masih paling mengusung
moralitas di kancah politik nasional.
Sumber:DetikForum