Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Jumat, 19 November 2010

Jumat, 19 November 2010

Kitab Tanpa Judul

Di kerjaan di dermaga di kantin di rumah di acara rutin mingguan sudah pasti terselip sedikit waktu untuk membicarakan dinamika kehidupan bangsa kita akhir akhir ini,rasanya gatal memang untuk didiamkan mulai dari bencana yang seperti bis karyawan yang lagi ngantri menunggu waktu gilirannya tiba sampai acting  para aparatur negara kita yang bak dagelan opera van java.



Kemudian  kita para audiensnya (baca:rakyat Indonesia) mulai dengan semangat untuk ikut nimbrung membahasnya mulai dengan gaya bicara yang polos mungkin seperti penulis ini, atau sekedar nimbrung mengimbangi lawan bicara yang sudah ada  atau bahkan sampai gaya bicara tingkat tinggi yang seperti seorang pengamat atau praktisi yang sudah tahu dan kenal betul permasalahan yang ada.

Itulah kita dengan dinamika yang ada, urusan bermanfaatkah apa yang kita sampaikan adalah urusan keseratus yang penting unek unek tersalurkan dan emosi kita mendapat lawan yang setimpal.

Belum lagi di tambah krisis lokal bbm susah, ingin menjadi pelanggan  PLN saja  harus inden sampai 2 tahun atau pasangan  PDAM yang tidak pernah jelas.Padahal kita hidup di atas batu bara kita hidup di kelilingi sungai,maka emosi pun membuncah walaupun hanya di dukung logika jongkok.

Semuanya membuat kita terkondisikan sehingga muncullah para kritikus,pengamat,bahkan praktisi dadakan seperti penulis ini.seperti jamur di musim hujan  atau daun yang bergugran di musim gugur tetapi ketika musim berganti maka berganti pulalah fenomena alamnya padahal bisa jadi tahun depan musimnya datang lagi.

Mengkritik, menghina, atau bahkan sampai mencaci maki adalah sudah biasa bahkan dengan dalih untuk perbaikan padahal tanpa kita sadari bibit-bibit apa yang selama ini kita anggap salah atau melenceng telah kita tanam  sendri, karena orientasi berpikir kita selalu dalam skala nasional.Tentu bibit yang kita tanam  tidak pernah bisa berdampak nasional karena ruang lingkup kehidupan kita adala lokal maka dampaknya pun hanya seputar kehidupan kita sehari hari.

Padahal tidak ada jaminan kita yang selama ini selalu  mengkritik, menghina, atau bahkan sampai mencaci maki bisa lebih baik dari mereka apabila suatu saat nanti amanah itu kita pegang.

Sebabnya dalam dalam ruang lingkup lokal saja kita yang setiap ada waktu selalu menyempatkan memngkritik juga tidak bisa berbuat apa apa ketika ada pelanggaran terjadi di depan mata kita padahal bisa jadi secara otoritas kita punya kuasa untuk menghentikan dan member sanksi, memang rasa persaudaraan senasib dan sepenanggungan telah menutup mata hati kita untuk lebih rasional dalam urusan penegakkan aturan.apalagi kalau sampai duit yang berbicara maka gayus pun bersambut.


Atau mungkin dua kasus yang bisa di bilang sama bentuk dan akibat yang ditimbulkan  tetapi mendapat putusan yang berbeda bagaikan langit dan bumi,hanya karena kecintaan orang per oerang sehingga tertutuplah hati kita untuk berbuat adil.

Atau juga mungkin kita sangat tidak suka dengan kelakuan para aparatur Negara yang mau di suap padahal kadang kadang kita juga mau nyuap walaupun dalam skala yang lebih kecil, urus ktp dan sim misalnya.

Maka potret kita selama ini terjawab sudah kita juga termasuk gagal.

Namun ketika ada yang merasa harus bisa menembus batas keburukan yang sudah mentradisi ini maka jadilah ia kitab tanpa judul yang di pandang sebelah mata.

Ironis memang..

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates