Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Jumat, 29 Juli 2011

Jumat, 29 Juli 2011

Ukhuwah....

Setelah sekian lama bersama dalam majelis ini tibalah masanya sayauntuk merasakan di pisahkan dengan semua sahabat dan saudara-saudaraku yangselama ini semajelis denganku tentu ini bukanlah perpisahan dalam arti kitatidak akan pernah bersilaturahim lagi melainkan hanya sebagai penguatanorganisasi saja yang memang sistemnya dibuat demikian.

Ketika Demokrat Tak Belajar dari PKS

Mengaku salah melihat gambar, kader PKS udah minta maaf. Namun, kader Partai Demokrat (bendahara PD) nggak pernah minta maaf tuh, meski dituding terlibat 3 kasus yang berkali lipat lebih gawat: 1) Suap/korupsi pembangunan gedung olahraga SEA Games; 2) pemerkosaan seorang gadis SPG di Bandung; 3) penganiayaan terhadap sopirnya sendiri.

Kalimat ini jelas membandingkan antara mantan anggota DPR dari PKS, Arifinto dan mantan Bendahara Umum PD, M. Nazaruddin. Arifinto –yang diduga melihat content pornografi di sidang paripurna DPR—hanya dalam hitungan hari segera memutuskan mundur dan meminta maaf. Sedangkan M. Nazaruddin, hingga kini tak juga meminta maaf dan mundur dari DPR meski kasusnya telah ramai dibincangkan dalam dua pekan terakhir. Dan PD pun, melalui Dewan Kehormatannya, hanya “berani” memecat Nazaruddin sebagai bendahara umum; bukan sebagai anggota DPR.

Mengapa dua partai ini memiliki respon berbeda?

Di negeri ini, pejabat mundur karena berbuat salah bak mencari jarum di tumpukan jerami. Bahkan, ada yang berpendapat, mundur masih belum menjadi budaya di Indonesia. Budaya mundur dianggap bukan representasi budaya bangsa Indonesia. Anehnya lagi, ada yang membenturkan budaya mundur dengan falsafah Jawa: tinggal glanggang colong playu (lari dari tanggung jawab).

Beragam alasan biasanya dikemukakan mereka yang terlibat kasus-kasus tak sedap.

“Itu kan baru dugaan, belum ada bukti hukum, jadi tak perlu mundur.”
“Status saya masih tersangka, buat apa mundur.”
“Saya baru akan mundur jika ada keputusan pengadilan yang tetap.”
“Saya kan cuma pembantu presiden. Mundur tidaknya saya tergantung presiden.”
“Mundur sebagai anggota dewan itu ada aturannya, tak bisa tergesa-gesa. Masih banyak yang harus saya kerjakan sebagai wakil rakyat.”

Saat ini, selain Nazaruddin, masih banyak anggota DPR yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, bahkan terdakwa, tapi keukeuh tak mau mundur. Setiap pekan kerjanya bolak-balik pengadilan, bertemu kuasa hukum, dan menyiapkan pembelaan. Tapi tetap saja mereka tanpa malu masih berkantor di DPR sebagai wakil rakyat.

Jepang kerap menjadi contoh terbaik yang disodorkan kepada kita terkait budaya mundur. Menteri Luar Negeri (Menlu) Jepang, Seiji Maehara, mengundurkan diri dari jabatannya karena dituduh menerima uang dari orang asing, walau nilainya hanya 50.000 yen, atau sekitar Rp5,3 juta.

“Saya minta maaf kepada rakyat Jepang atas keresahan politik ini,” kata Maehara dalam jumpa pers di Tokyo, Minggu 6 Maret 2011.

April 2010, PM Jepang Yukio Hatoyama yang baru menjabat Perdana Menteri Jepang selama delapan bulan, mengundurkan diri setelah gagal memenuhi janji kampanyenya untuk memindahkan pangkalan militer Amerika Serikat, Futenma, dari Pulau Okinawa. Sebelum Hatoyama, ada Taro Aso, Yasuo Fukuda dan Shinzo Abe yang meletakkan jabatan PM karena merasa gagal menjalankan amanah rakyat.

Mengapa para pejabat kita tak mau mundur? Pertama, karena hilangnya budaya malu. Kita sering melihat para tersangka koruptor masih bisa tersenyum manis di depan kamera. Menyedihkan, bukan?

Kedua, cara pandang terhadap kekuasaan. Bagi mereka yang tak mau mundur, kekuasaan adalah peluang untuk mendapatkan beragam kenikmatan dunia: harta, tahta, wanita, dsb. Dengan berkuasa, semua urusan menjadi mudah; semua lawan bisa dilibas; semua kemewahan bisa didapatkan; semua wanita dapat ditaklukkan. Karena itu, kekuasaan tak boleh dilepaskan meski beragam kesalahan telah dilakukan. Dan mundur tentu saja tak ada dalam kamus mereka.

Berbeda dengan orang yang memandang kekuasaan hanya sebagai alat atau sarana untuk berbuat kemaslahatan bagi masyarakat. Bagi kelompok ini, kekuasaan bukan diletakkan di dalam jiwa, melainkan hanya ada di telapak tangan. Karenanya, jika sudah merasa tak membawa kemaslahatan, mereka akan mundur dengan sukarela.

Budaya mundur sendiri sejatinya inheren (melekat) dengan eksistensi kita sebagai seorang muslim. Islam, agama yang kita anut, dengan indahnya mengajarkan budaya mundur dalam shalat. Seorang imam harus mundur jika batal dan posisinya digantikan oleh orang yang ada di belakangnya.

Sayang memang, budaya mundur masih menjadi barang mewah di negeri yang mayoritas muslim ini. Padahal, sebuah pelajaran moral luar biasa telah ditunjukkan oleh kader PKS, Arifinto. Tapi tak ada anggota dewan dan pemimpin lainnya yang mau belajar dari PKS. Termasuk PD yang saat ini menjadi the rulling party.

Jadi teringat dengan tulisan Zaim Uchrowi: Berani Mundur di Republika, 15 April lalu. Tulis dia dalam artikelnya: Arifinto membuat langkah penting bagi bangsa ini, membiasakan budaya mundur. Hal yang tentu tak lepas dari sikap partainya, PKS. Partai yang dalam beberapa waktu terakhir banyak dihujani cobaan, termasuk pada kasus ini. Namun, lewat mundurnya Arifinto, PKS menunjukkan beda dengan partai lainnya. PKS melakukan hal yang hampir tak mungkin dilakukan partai lain. Dengan segala kekurangannya, partai ini relatif masih paling mengusung moralitas di kancah politik nasional.
Sumber:DetikForum

Kamis, 28 Juli 2011

Kamis, 28 Juli 2011

Kajati Bilang “Korupsi Dikit Tidak Apa-Apa” Pintar-Pintar Atur Ajalah


Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kalimantan Timur Faried Harianto, SH mengatakan, perbuatan korupi yang terbilang tidak besar nilainya tidak perlu dipermasalahkan. Namun, dia mengimbau agar pejabat pintar-pintar bermain dan jangan sampai ketahuan. Demikian diungkapkan Kajati saat melakukan pengarahan tentang “Upaya Pencegahan Korupsi” di hadapan pejabat di lingkungan Pemkab Berau, Selasa (19/7/2011).

“Pejabat harus pintar-pintar, jangan sampai ketahuan. Karena kalau ketahuan siapapun dihukum. Bukan membolehkan, tapi pintar-pintar. Penegak hukum harus bijak, korupsi dikit-dikit tidak apa-apa. Mark up-mark up dikit tidak masalah,” papar Faried bersama Bupati Berau Makmur HAPK di hadapan para pejabat Pemkab Kukar.

Faried juga mengatakan akan melakukan penanganan kasus yang niai korupsinya besar. Acara tersebut juga disaksikan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kabupaten Berau dan jajarannya. Faried juga tida merinci berapa target kasus korupsi dalam tahun ini di Kaltimantan Timur.

“Di tipikor, jaksanya saja ongkosnya ratusan juta, sidangnya di Samarinda. Misalnya Jaksa bolak-balik ke Berau, memeriksa saksi-saksi dan lain-lain, padahal korupsinya Rp 20 juta, jadi negara rugi bukan untung. Makanya cari yang besar jangan yang kecil. Kalau yang kecil banyak mudharatnya daripada manfaatnya, itulah azas manfaat,” katanya.

Pengamat Hukum Agus Amri mengaku prihatin atas pernyataan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kaltim Faried.

Menurutnya, di tengah Negara melakukan perang terhadap koruptor, namun pernyataan Kajati tersebut yang notabene penegak hukum menciutkan semangat anti korupsi tersebut.

“Itu pernyataan yang sangat memalukan dan menyedihkan sekali dari seorang aparat penegak hukum. Ini pernyataan yang ironis di tengah perang Negara melawan Koruptor,” tandas Agus yang juga berprofesi sebagai Pengacara, kepada tribunkaltim.co.id, Selasa (19/7/2011).

Agus menambahkan, pernyataan Kajati tersebut membuat para koruptor semakin leluasa untuk mengelabui jeratan hukum korupsi, misalnya dengan cara melakukan korupsi yang keci-kecil namun skalanya banyak. “Justru dinyatakan oleh aparat penegak hukum yang seharusnya berdiri di garda terdepan melawan korupsi. Pernyataan itu akan semakin membuat para koruptor merasa benar kalo korupsinya sedikit,” tegasnya.

Sebelumnya Kajati Kalimantan Timur Faried Harianto, SH mengatakan, perbuatan korupsi yang terbilang tidak besar nilainya tidak perlu dipermasalahkan. Namun, dia mengimbau agar pejabat pintar-pintar bermain dan jangan sampai ketahuan. Ini diungkapkan Kajati saat melakukan pengarahan tentang “Upaya Pencegahan Korupsi” di hadapan pejabat di lingkungan Pemkab Berau
sumber:kaltimpost

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates